Pondok Pesantren Waria
‘Senin Kamis’
Teks: Vinny Alpiani dan Lisdia Rahma Delimayanti
Fotografer: Dimas Parikesit
Fotografer: Dimas Parikesit
“Keinginan mereka untuk beribadah tidak mengurungkan niatnya, karena mereka punya keyakinan, mereka hidup dan mereka ada”
Pesantren Waria, nama ini sangat asing di sebagian kalangan masyarakat karena keberadaanya. Tetapi tidak di Yogyakarta, nama ini sudah tidak asing lagi di telinga masyarakat sekitar karena perkumpulan ini merupakan satu kumpulan pembinaan para waria se-Yogya.
Berdirinya pesantren ini didedikasikan oleh Drs.KH. Hamrolie Harun, M.Sc dia ingin merubah pola pikir masyarakat tentang waria yang dipandang hanya meresahkan masyarakat saja. Tempat ini diberi nama Pesantren karena pada dasarnya pesantren itu adalah tempat pembinaan agama, maka dari itu kyai membuat satu pondok pesantren yang memangdikhususkan untuk waria. Usahanya untuk membina waria diterima oleh sebagian waria yang sudah bertekad untuk menjadi santri dan mengikuti kajian di pesantren ini. Berdirinya ponpes wariaini dimulai setelah gempa jogja, yang awalnya diadakan doa bersamadan menyadarkan bahwa para waria juga manusia biasa dan tidak berhenti sampai disini saja. Lalu dengan adanya respon yang positif dari para waria yang ingin beribadah, mereka melanjutkan kegiatan tersebut secara rutin dengan menghadirkan seorang ustad dan melakukan doa bersama setiap malam selasa kliwon. Dari sanalah seorang kyai bernama Drs.KH. Hamrolie Harun, M.Sc mencetuskan ide agar tidak hanya doa rutin saja tetapi dengan mengkaji agama, belajar al-quran dan sebagainya. Akhirnya dibentuklah pondok pesantren ini pada tahun 2008. Pendiri dari pesantren ini mendedikasikan untuk ‘mempriakan waria’ karena waria bukan kodrat seorang laki-laki. Akhirnya mundurlah kyai ini sebagai pemimpin ponpes waria, karena waria-waria yang mengikuti kajian tidak merasa nyaman dengan keadaan sebagai laki-laki. Pembentukan pesantren ini juga bertujuan untuk menyentuh rasa humanisme waria yang mereka juga membutuhkan ibadah pada Tuhan. Tantangan pendirian ini awalnya banyak mendapat respon negatif dari masyarakat yang memandang sebelah mata waria. Seiring berjalannya waktu, ponpes waria ini bisa diterima di masyarakat karena apa yang mereka pikirkan tentang waria itu tidak benar. Sekarang ini pesantren waria dikelola oleh ibu Sinta Ratri (waria/50) sebagai ketua karena pengelola sebelumnya sudah meninggal. Ketika beribadah mereka dibagi menjadi dua shaf yakni waria yang berpakaian pria di shaf depan dan waria yang berpakaian mukena di shaf belakang. Hal ini terjadi karena setiap waria memiliki kenyamanan masing-masing dalam pribadinya karena dengan perasaan nyaman para waria bisa khusyuk beribadah kepada Tuhan.
Kegiatan-kegiatan yang dilakukan di pesantren ini berbeda dengan kegiatan di pesantren pada umumnya dan waria yang sudah menjadi santri disana tidak ‘mondok’ di pondok pesantrennya sendiri.“Waria-waria disini ngga tinggal disini, mereka semua punya rumah dan punya pekerjaan masing-masing. Jadi mereka datang kesini hanya setiap hari minggu karena itu sudah jadwal rutin kita”, terang ibu Sinta Ratri selaku pengelola pesantren yang baru. Selama ini ponpes waria yang didirikan sudah 8 tahun ini pernah vakum dari tahun 2011-2013 karena pengelola sebelumnya sakit-sakitan dan akhirnya meninggal. Ponpes waria ini dibuka kembali pada hari Jumat, 18 April 2014 dengan pengelola dan kepengurusan baru. Pada hari Jumat itu pula dilakukan perekrutan kembali santri-santri waria hingga terdapat sejumlah 35 waria. “ Pesantren itu merupakan produk budaya masyarakat dan menariknya pesantren ini menurut agama itu dilarang tetapi masih didirikan karena kebutuhan para waria itu sendiri”, jelas Farhan, mahasiswa Sosiologi UNY.
Tidak hanya di Yogyakarta, pondok pesantren waria juga ada di beberapa daerah Indonesia lainnya seperti di Surabaya, Jakarta dan Depok tetapi berbeda dengan ponpes waria yang ada disini karena tempat lainnya hanya perkumpulan pengajian saja tanpa ada kegiatan lain seperti mengunjungi makam, kegiatan dibidang seni dan olahraga, serta kegiatan lainnya. Pondok pesantren waria Senen Kemis ini tidak hanya melaksanakan kegiatan pengajian dan pengkajian agama, tetapi mereka juga melakukan kegiatan pembelajaran di bidang seni dan olahraga seperti paduan suara, membatik, menari, bermain bola voli, sepak bola dan bulu tangkis. Kegiatan-kegiatan yang dilakukan di ponpes waria ini bukan kegiatan yang secara intens dibuat oleh pihak waria, tetapi mereka kebanyakan mendapat undangan dari masyarakat untuk berpartisipasi di kegiatan tersebut.Dengan adanya kegiatan tersebut,para waria bisa berbaur dengan masyarakat lainnya.
Besar harapan dari ponpes waria ini untuk membesarkan nama dan keanggotaan agar dapat menarik banyak santri yang baru 10% ini dari keseluruhan waria se-Yogyakarta.“Mudah-mudahan pesantren ini bisa mendapatkan izin dari pemerintahan khususnya menteri agama, karena dengan adanya ponpes waria ini para waria bisa berkembang dan mendapatkan pembelajaran agama seperti masyarakat lainnya”, tandas Ibu Santi Ratri. Dengan adanya ponpes waria ini sedikit menghilangkan pandangan negatif masyarakat terhadap waria yang awalnya hanya dipandang dan dinilai sebagai manusia “setengah-setengah’’ dan meresahkan. Sebagai manusia biasa mereka ada dan hidup sama seperti yang lainnya. Meskipun berbeda dengan wanita atau pria sesungguhnya, tetapi keinginannya untuk beribadah kepada sang pencipta membuat mereka semakin yakin dengan dirinya dan Tuhannya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar